JUDUL | ARTIKULASI ISLAM KULTURAL (Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah) |
---|---|
ISBN | 978-421-990-8 |
PENULIS | Asep Gunawan (Ed.) |
PENERBIT | PT Raja Grafindo Persada |
TAHUN | 2004 |
HALAMAN | 606 halaman |
BAHASA | Indonesia |
SINOPSIS :
ARTIKULASI ISLAM KULTURAL
Bagaimana kita memahami gerakan Islam Pasca Orde Baru? Pasca jatuhnya Soeharto secara amat dramatis pada 21 Mei 1998, telah mengubah gerakan pendulum sejarah umat Islam Indonesia. Lengsernya Soeharto setelah berkuasa 32 tahun yang kemudian disusul dengan terjadinya suksesi kepemimpinan nasional kepda BJ Habibie, dan kemudian Abdurrahman Wahid ternyata telah memberikan implikasi politik yang signifikan terhadap perubahan politik Islam. Banyak kalangan menilai format gerakan Islam pasca Orde Baru sangat ditentukan oleh interplay antara "Islam Kultural" dan "Islam Politik". Apa bedanya Islam Kultural dan Islam Politik? Istilah Islam Politik atau "Islam Struktural" yang didefinisikan sebagai Islam yang muncul atau ditampilkan sebagai kerangka atau basis ideologi politik, yang kemudian menjelma dalam bentuk partai politik. Atau memakai kerangka sejarawan Hodgson, "Islam Politik" adalah "Islamdom", Islam yang mengejawantah dalam kekuasaan politik (Political Power). Sementara "Islam Kultural", seperti yang dikatakan Snouck Hurgronje, seorang penasihat Islam ulung pada masa pemerintahan Belanda, identik dengan "Islam Ibadah", atau "Islam Masjid", yang tidak ada hubungannya dengan politik dan kekuasaan.
Buku ini menyajikan analisa akar-akar pemikiran dan perkembangan Islam Kultural. Pemahaman terhadap perkembangan awal Islam Kultural sangat penting untuk menentukan langkah gerakan Islam selanjutnya. Dan saat inipun, model gerakan Islam Kultural gaungnya masih terus bergema, terutama gerakan yang diperankan oleh dua organisasi Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah. Tantangan yang ada dihadapan kita bukan terletak pada kelebihan dan kekurangan pendekatan Islam Kultural atau Islam Politik. Yang terpenting adalah bagaimana mencari sintesis dari kedua pemikiran tersebut, apakah dalam konteks sosial-budaya, ekonomi, maupun politik yang telah dinegosiasikan dengan situasi partikularitas Indonesia. Jika tidak kita tidak memberikan kesempatan untuk bernegosiasi terhadap dua pendekatan tersebut bukan mustahil perbedaan-perbedaan tersebut tidak akan pernah diselesaikan.